علينا أن نتعلم قبل أن نتهجم
فدلك اجدى بنا وأسلم
علمنا شيئا و غابت عنا ألأشياء
"Pelajari sebelum menghukumi
Karena hal itu lebih baik dan terpuji
Satu kita ketahui beberapa hal tak kita mengerti"
(Nasihat orang bijak)
Seiring genderang kebebasan yang ditabuh bertalu-talu, seiring gerbang-gerbang kebajikan mulai terbuka; bendera-bendera keislaman berkibar, seirama pula gerakan-gerakan (yang mengaku ) pemurnian tauhid merajalela, mengoyak nilai-nilai yang telah tertata dan meruntuhkan bangunan-bangunan yang (katanya) tidak kokoh, mengguncang kemapanan yang terlalu tak masuk akal dan sarat akan kelemahan itu dengan jargon yang sangat bagus.
"Tak ada perantara antara hamba dengan Tuhannya" demikian ungkapan yang sering didengungkan disurau-surau semenanjung Arabia, yang kemudian mengusik keheningan para santri-santri berbasiskan washitoh (baca: perantara) yang sedang terlelap, untuk kemudian terhenyak dari tidur mereka bangkit dan memilih kembali ajaran guru-guru mereka. Ajaran para pendahulu mereka, benarkah tak ada perantara antara kita dan Tuhan? lemahkah Tuhan sehingga tak bisa berbicara dengan hambanya tanpa perantara? Atau ada maksud lain?
Sekilas tentang tawassul
Dalam kitab Al-Bayan karya Prof. Dr. Ali Gomah memberikan pengertian tawassul secara bahasa, menurutnya tawassul menurut bahasa bisa diartikan sebagai Al-Qurbah atau perbuatan yang bisa mendekatkan sang pelaku dengan sang pencipta, karena hidup kita tak jauh akan jauh dari tujuan mendekatkan diri kepadanya, supaya kelak mendapat ridho-Nya. Seperti kita melakukan shalat atau puasa tidak lain dan tidak bukan adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mendapat ridho-Nya. Tutur beliau.
Ada pengertian lain tentang tawassul yang dikutip dari kolom hiwar ma'a Shahib el-Samahah, Shahib el-Samahah mengartikan tawassul secara bahasa dengan: istikhdamu wasilah li bulughil ghayah atau dalam bahasa lain menggunakan segala bentuk wujud sebagai perantara (wasilah) sehingga bisa sampai kepada tujuannya (ghayah). Penulis kira ta'rif versi Shahib el-Samahah lebih umum dan lebih masuk ke semua kisi karena ianya tak hanya berkutat pada bentuk peribadatan saja, tapi lebih mengena ke segala macam bentuk praktek tawassul. Lalu beliau mengatakan bahwa sejatinya, hidup kita penuh dengan praktek tawassul, sebagai contoh: dengan apa kita melihat? Dengan apa kita mendengar?. Tentu kita akan menjawab bukan dengan "kita" kita melihat, melainkan dengan "mata" kita melihat, dengan telinga kita mendengar. Dan untuk merasa, kitapun membutuhkan lidah untuk merasakan sesuatu, atau untuk memadamkan kebakaran rumah kitapun butuh pemadam kebakaran untuk memadamkanya bukan langsung memohon kepada tuhan untuk memadamkanya. Oleh karena itu Shahib el-Samahah menganggap bahwa keberadaan tawassul tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sebab ianya adalah fitrah manusia itu sendiri dan ianya adalah sebuah keniscayaan.
Ada keterkaitan yang sangat erat antara perantara dan tujuan, jika tujuan yang akan dicapai adalah kebaikan maka perantara tersebutpun tak akan tercela dan sebaliknya jika tujuan kita adalah ketercelaan maka tak ayal perantarapun akan ternodai kesuciannya. Seperti contoh sebilah pisau, ia akan bisa bermanfaat ketika digunakan untuk memotong sayur mayur dan bahkan bisa bermanfaat untuk gundah gaulana perut kita tapi, apa jadinya ketika pisau dijadikan sebagai alat untuk menghabisi nyawa manusia? Atau untuk mencongkel mata si laila? Tentu tak akan enak didengar telinga. Oleh karena itu dari paparan yang sederhana diatas kita bisa menyimpulkan bahwasanya tawassul adalah: menggunakan perantara untuk mencapai tujuan dan ianya adalah sebuah keniscayaan (dharurah fithriah) dengan baiknya tujuan maka perantarapun akan menjadi baik begitupun sebaliknya jika tujuannya adalah sesuatu yang tidak baik maka perantarapun akan ternodai kebaikannya, oleh karena itu tawassul tak bisa dihalalkan secara mutlak karena dengan penghalalan terhadapnya yang mutlak adalah melampaui garis-garis demarkasi agama. Adapun sebaliknya mengharamkan tawassul secara mutlak berarti telah melanggar hukum-hukum kewajaran sebagai manusia karena pada hakekatnya kita tak bisa dipisahkan dari praktek-prektek tawassul.
Rasul sebagai perantara
Jika kita menoleh sebentar ke fase dimana diturunkannya wahyu maka kita akan melihat disana bahwa tuhan memberikan wahyu-wahyu syari'at tidak langsung terhadap manusia tapi dengan washilah, adalah karena beliaunya sang Rasulullah SAW kita dapat mengetahui hukum-hukum dan perilaku yang tuhan inginkan kepada kita, itupun tuhan tidak langsung berbicara kepada beliau sang nabi tapi melewati malaikatnya Jibril As yang kemudian disampaikan kepada Rasulullah untuk kemudian melaluinya disampaikan kepada umat islam.
Pada saat ini terkadang ada sebagian dari kita yang terkecoh dan spontan mempercayai secara menyeluruh ungkapan
لاواسطة بين العبد وربه
"tak ada perantara antara hamba dan tuhannya"
sebagai titik final yang tak bisa di tawar-tawar lagi, dan menganggap bahwa ungkapan ini memang benar adanya karena Allah berfirman:
ولو شئنا لأتينا كل نفس هداها
Artinya: "Dan kalau aku berkehendak maka akan aku berikan setiap diri hidayahku tapi ternyata tuhan berkehendak lain karena ia memerintah Rasul kepada kita"
لتبين للناس مانزل اليهم
"Untuk menjadi penjelas bagi apa-apa yang diturunkan kepada mereka"
Dengan begitu, bukan berarti tuhan tidak mampu berbicara langsung tanpa perantara malaikat Jibril, namun dari situ bisa diambil benang merah bahwasanya tawassul memang menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihilangkan.
Terdapat ayat dalam Al-Qur'an yang menganjurkan untuk bertawassul yang berbunyi:
يا ايها الدين امنوا اتقواالله وبتغوا اليه الوسيله
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah washilah yang mendekatkan diri kepada-Nya".
Dan dalam ayat lain disebutkan bahwa syarat penerimaan taubat adalah dengan bertawassul
ولو انهم ادظلموا انفسهم جاؤك فاستغفر لهم الرسول لوجدواالله توابا رحيما
Artinya: "sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka sendiri datang kepadamu, kemudian memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang".
Dari ayat ini sangat jelas bahwa untuk mendapatkan ampunan kita tidak bisa langsung mendatangi Allah tetapi kita mendatangi utusan-Nya untuk kemudian diampuni oleh Allah dan kemudian Rasul pun memintakan ampun untuk mereka. Maka bisa diperjelas bahwa untuk mendapat ampunan Allah, meraka harus memenuhi tiga syarat berikut secara berurut:
1. Meraka harus lebih dahulu mendatangi Rasul SAW
2. Mereka lalu beristighfar kepada Allah sesuai tuntunan Rasul
3. Memohon kepada Rasul agar bersedia memintakan ampun dari Allah untuk mereka.
Dengan demikian barulah mereka mendapati Allah telah menerima taubat mereka.
Dari pemaparan yang sederhana diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa berjalannya kehidupan kita tak jauh dari wasilah-wasilah atau perantara-perantara. Dan apabila kita melihat rukun islam, maka akan kita dapati keterkandungan tawassul didalamnya, seperti mengucap dua kalimat syahadat berarti meyakini bahwa Nabi adalah Rasulullah dan kata Rasul berarti wasilah atau washitoh, mendirikan sholat lima waktu adalah wasilah untuk menegakkan tiang agama dan meminimalisir kriminalitas, kemudian membayar zakat adalah wasilah untuk memelihara dan membersihkan harta, melaksanakan ibadah puasa adalah wasilah untuk mmembersihkan hati atau memasuki sorga melalui pintu Al-Rayyan, kemudian melaksanakan ibadah haji adalah wasilah untuk penyempurnaan iman, dan dari kesemua rukun islam diatas mengandung wasilah untuk kita mendapat ridho-Nya. Maka dari itu tawassul bukanlah sesuatu yang baru dalam agama atau benalu dalam agama tapi ianya adalah madu yang tersarikan dari lebah dan "fiihi syifaaun linnaas
0 comments